PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Rana
sp. merupakan komponen penting dalam habitatair tawar dan teresterial. Banyak
manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan Rana sp., baik secara ekologis
maupun ekonomis. Secara ekologis Rana sp. selain sebagai rantai makanan juga dapat dijadikan sebagai
bioindikator terhadap kualitas perairan, seperti sungai. Secara ekonomis
beberapa jenis Rana sp. telah lama dikenal sebagai bahan makanan oleh
masyarakat secara luas dan dapat mendatangkan keuntungan dari perdagangannya.
Rana sp. hidup didaerah yang lembab
dimana banyak kandungan airnya. Rana sp. aktif pada malam hari (nocturnal) dan
biasanya memakan serangga yang keluar pada malam hari. Rana sp. bertelur di
daerah yang tergenang air, sarangnya berupa gumpalan busa yang berwarna putih.
Kehidupan Rana sp. sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan dimana ia
hidup. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan Rana sp. adalah
pencemaran air dan penebangan hutan.
1.2. Tujuan
dan Manfaat
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk menggambarkan kehidupan Rana sp. dan
faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan dari Rana sp. dengan demikian
diharapkan kita dapat menjaga lingkugan guna kelestarian spesies Rana sp..
TINJAUAN
PUSTAKA
Amphibi merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang tinggi,
tidak tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air maupun di darat. Amphibia
berasal dari bahasa Yunani yaitu Amphi yang berarti dua dan Bios
yang berarti hidup. Karena itu amphibi diartikan sebagai hewan yang mempunyai
dua bentuk kehidupan yaitu di darat dan di air. Pada umumnya, amphibia
mempunyai siklus hidup awal di perairan dan siklus hidup kedua adalah di
daratan. ( Zug, 1993)
Pada fase berudu amphibi hidup di perairan dan bernafas
dengan insang. Pada fase ini berudu bergerak menggunakan ekor. Pada fase dewasa
hidup di darat dan bernafas dengan paru-paru. Pada fase dewasa ini amphibi
bergerak dengan kaki. Perubahan cara bernafas yang seiring dengan peralihan
kehidupan dari perairan ke daratan menyebabkan hilangnya insang dan rangka
insang lama kelamaan menghilang. Pada anura, tidak ditemukan leher sebagai
mekanisme adaptasi terhadap hidup di dalam liang dan bergerak dengan cara
melompat. (Zug, 1993)
Amphibia memiliki kelopak mata dan kelenjar air mata yang
berkembang baik. Pada mata terdapat membrana nictitans yang berfungsi
untuk melindungi mata dari debu, kekeringan dan kondisi lain yang menyebabkan
kerusakan pada mata. Sistem syaraf mengalami modifikasi seiring dengan
perubahan fase hidup. Otak depan menjadi lebih besar dan hemisphaerium
cerebri terbagi sempurna. Pada cerebellum konvulasi hampir tidak
berkembang. Pada fase dewasa mulai terbentuk kelenjar ludah yang menghasilkan
bahan pelembab atau perekat. Walaupun demikian, tidak semua amphibi melalui
siklus hidup dari kehidupan perairan ke daratan. Pada beberapa amphibi,
misalnya anggota Plethodontidae, tetap tinggal dalam perairan dan tidak menjadi
dewasa. Selama hidup tetap dalam fase berudu, bernafas dengan insang dan
berkembang biak secara neotoni. Ada beberapa jenis amphibi lain yang sebagian
hidupnya berada di daratan, tetapi pada waktu tertentu kembali ke air untuk
berkembang biak. Tapi ada juga beberapa jenis yang hanya hidup di darat selama
hidupnya. Pada kelompok ini tidak terdapat stadium larva dalam air. (Duellman
and Trueb, 1986)
Adapun
ciri-ciri umum anggota amphibia adalah sebagai berikut:
1. Memilliki anggota
gerak yang secara anamotis pentadactylus, kecuali pada apoda yang anggota
geraknya terduksi.
2. Tidak memiliki kuku
dan cakar, tetapi ada beberapa anggota amphibia yang pada ujung jarinya
mengalami penandukan membentuk kuku dan cakar, contoh Xenopus sp..
3. Kulit memiliki dua
kelenjar yaitu kelenjar mukosa dan atau kelenjar berbintil ( biasanya beracun).
4. Pernafasan dengan
insang, kulit, paru-paru.
5. Mempunyai sistem
pendengaran, yaitu berupa saluran auditory dan dikenal dengan tympanum.
6. Jantung terdiri
dari tiga lobi ( 1 ventrikel dan 2 atrium)
7. Mempunyai struktur
gigi, yaitu gigi maxilla dan gigi palatum.
8. Merupakan hewan
poikiloterm.
(Duellman
and Trueb, 1986)
Sistematika
Anggota
amphibia terdiri dari 4 ordo yaitu Urodela (Salamander), Apoda (Caecilia), dan
Anura ( katak dan kodok), Proanura (telah punah). Adapun klasifikasinya adalah
sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub
Phylum : Vertebrata
SuperClass
: Tetrapoda
Class
: Amphibia
Ordo
: a Caecilia Gymnophiona
-
Familia Ichthyopidae , Familia Caecilidae, Familia Rhinatrematidae, Familia
Scoleocomorphidae, Familia Uracotyphlidae, Familia Typhlonectidae
b
Urodela
Subordo
: Cryptobranchoidea
-
Familia Cryptobranchidae, Familia Hynobiidae
Subordo
: Salamandroidea
-
Familia Salamandridae, Familia Proteidae, Familia Ambystomatidae, Familia
Amphiumidae, Familia Dicamtodontidae, Familia Plethodontidae
Subordo
: Meantes
-
Familia Sirenidae
c.
Anura
Subordo
: Archaeobatrachia
-
Familia Discoglossidae , Familia Ascaphidae, Familia Leiopelmatidae
Subordo
: Mesobatrachia
-
Familia Pipidae, Familia Rhinophrynidae, Familia Pelobatidae, Familia
Pelodytidae
Subordo
: Neobatrachia
-
Familia Bufonidae, Familia Microhylidae, Familia Ranidae, Familia Pelobatidae
(Megophrydae) , Familia Rhacophoridae, Familia Dendrobatidae, Familia Hylidae,
Familia Pelodryadidae, Familia Myobatrachidae, Familia Sooglossidae, Familia
Psedidae
d.
Proanura ( telah punah )
(Zug, 1993; Iskandar & Colijn, 2000 ; Eprilurahman, 2007)
1. Ordo
Caecilia ( Gymnophiona)
Ordo ini mempunyai anggota yang ciri umumnya adalah tidak
mempunyai kaki sehingga disebut Apoda. Tubuh menyerupai cacing (gilig),
bersegmen, tidak bertungkai, dan ekor mereduksi. Hewan ini mempunyai kulit yang
kompak, mata tereduksi, tertutup oleh kulit atau tulang, retina pada beberapa
spesies berfungsi sebagai fotoreseptor. Di bagian anterior terdapat tentakel
yang fungsinya sebagai organ sensory. Kelompok ini menunjukkan 2 bentuk dalam
daur hidupnya. Pada fase larva hidup dalam air dan bernafas dengan insang. Pada
fase dewasa insang mengalami reduksi, dan biasanya ditemukan di dalam tanah atau
di lingkungan akuatik. Fertilisasi pada Caecilia terjadi secara internal. (
Webb et.al, 1981)
Ordo Caecilia mempunyai 5 famili yaitu Rhinatrematidae,
Ichtyopiidae, Uraeotyphilidae, Scolecomorphiidae, dan Caecilidae. Famili
Caecilidae mempunyai 3 subfamili yaitu Dermophinae, Caecilinae dan
Typhlonectinae. ( Webb et.al, 1981)
Famili yang ada di indonesia adalah Ichtyopiidae. Anggota
famili ini mempunyai ciri-ciri tubuh yang bersisik, ekornya pendek, mata
relatif berkembang. Reproduksi dengan oviparous. Larva berenang bebas di air
dengan tiga pasang insang yang bercabang yang segera hilang walaupun
membutuhkan waktu yang lama di air sebelum metamorphosis. Anggota famili ini
yang ditemukan di indonesia adalah Ichtyophis sp., yaitu di propinsi
DIY.
2. Ordo
Urodela
Urodela disebut juga caudata. Ordo ini mempunyai ciri bentuk
tubuh memanjang, mempunyai anggota gerak dan ekor serta tidak memiliki
tympanum. Tubuh dapat dibedakan antara kepala, leher dan badan. Beberapa
spesies mempunyai insang dan yang lainnya bernafas dengan paru-paru. Pada
bagaian kepala terdapat mata yang kecil dan pada beberapa jenis, mata mengalami
reduksi. Fase larva hampir mirip dengan fase dewasa. Anggota ordo Urodela hidup
di darat akan tetapi tidak dapat lepas dari air. Pola persebarannya meliputi
wilayah Amerika Utara, Asia Tengah, Jepang dan Eropa. (Pough et. al, 1998)
Urodella mempunyai 3 sub ordo yaitu Sirenidea,
Cryptobranchoidea dan Salamandroidea. Sub ordo Sirenidae hanya memiliki 1
famili yaitu Sirenidae, sedangkan sub ordo Cryptobranchoidea memiliki 2 famili
yaitu Cryptobranchidae dan Hynobiidae. Sub ordo Salamandroidea memiliki 7
famili yaitu Amphiumidae, Plethodontidae, Rhyacotritoniade, Proteidae,
Ambystomatidae, Dicamptodontidae dan Salamandridae. ( Pough et. al., 1998)
3. Ordo
Proanura
Anggota-anggota ordo ini tidak dapat diketemukan atau dapat
dikatakan telah punah. Anggota-anggota ordo ini hidupnya di habitat akuatik
sebagai larva dan hanya sedikit saja yang menunjukkan perkembangan ke arah
dewasa. Ciri-ciri umumnya adalah mata kecil, tungkai depan kecil, tanpa tungkai
belakang, kedua rahang dilapisi bahan tanduk, mempunyai 3 pasang insang luar
dan paru-paru mengalami sedikit perkembangan. Amphibi ini tidak menunjukkan
adanya dua bentuk dalam daur hidupnya. (Duellman and Trueb, 1986)
4. Ordo
Anura
Nama anura mempunyai arti tidak memiliki ekor. Seperti
namanya, anggota ordo ini mempunyai ciri umum tidak mempunyai ekor, kepala
bersatu dengan badan, tidak mempunyai leher dan tungkai berkembang baik.
Tungkai belakang lebih besar daripada tungkai depan. Hal ini mendukung
pergerakannya yaitu dengan melompat. Pada beberapa famili terdapat selaput
diantara jari-jarinya. Membrana tympanum terletak di permukaan kulit dengan
ukuran yang cukup besar dan terletak di belakang mata. Kelopak mata dapat
digerakkan. Mata berukuran besar dan berkembang dengan baik. Fertilisasi secara
eksternal dan prosesnya dilakukan di perairan yang tenang dan dangkal.
(Duellman and Trueb, 1986)
Ordo
Anura dibagi menjadi 27 famili, yaitu:
Ascaphidae,
Leiopelmatidae, Bombinatoridae
Discoglossidae,
Pipidae, Rhinophrynidae,
Megophryidae,
Pelodytidae, Pelobatidae,
Allophrynidae,
Bufonidae, Branchycephalidae,
Centrolenidae,
Heleophrynidae, Hylidae,
Leptodactylidae,
Myobatrachidae, Pseudidae,
Rhinodermatidae,
Sooglossidae, Arthroleptidae,
Dendrobatidae,
Hemisotidae, Hyperoliidae,
Microhylidae,
Ranidae, Rachoporidae,
(
Pough et. al.,1998)
Ada 5 Famili yang terdapat di indonesia yaitu Bufonidae,
Megophryidae, Ranidae, Microhylidae dan Rachoporidae. Adapun penjelasan
mengenai kelima famili tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Bufonidae
Famili ini sering disebut kodok sejati. Ciri-siri umumnya
yaitu kulit kasar dan berbintil, terdapat kelenjar paratoid di belakang
tympanum dan terdapat pematang di kepala. Mempunyai tipe gelang bahu arciferal.
Sacral diapophisis melebar. Bufo mempunyai mulut yang lebar akan tetapi tidak
memiliki gigi. Tungkai belakang lebih panjang dari pada tungkai depan dan
jari-jari tidak mempunyai selaput. Fertilisasi berlangsung secara eksternal. Famili
ini terdiri dari 18 genera dan kurang lebih 300 spesies. Beberapa contoh famili
Bufo yang ada di Indonesia antara lain: Bufo asper, Bufo biporcatus, Bufo
melanosticus dan Leptophryne borbonica. ( Eprilurahman, 2007 )
b.
Megophryidae
Ciri khas yang paling menonjol adalah terdapatnya bangunan
seperti tanduk di atas matanya, yang merupakan modifikasi dari kelopak matanya.
Pada umumnya famili ini berukuran tubuh kecil. Tungkai relatif pendek sehingga
pergerakannya lambat dan kurang lincah. Gelang bahu bertipe firmisternal. Hidup
di hutan dataran tinggi. Pada fase berudu terdapat alat mulut seperti mangkuk
untuk mencari makan di permukaan air. Adapun contoh spesies anggota famili ini
adalah Megophrys montana dan Leptobranchium hasselti. (
Eprilurahman, 2007)
c.
Ranidae
Famili ini sering disebut juga katak sejati. Bentuk tubuhnya
relatif ramping. Tungkai relatif panjang dan diantara jari-jarinya terdapat
selaput untuk membantu berenang. Kulitnya halus, licin dan ada beberapa yang
berbintil. Gelang bahu bertipe firmisternal. Pada kepala tidak ada pematang
seperti pada Bufo. Mulutnya lebar dan terdapat gigi seperti parut di bagian
maxillanya. Sacral diapophysis gilig. Fertilisasi secara eksternal dan bersifat
ovipar. Famili ini terdiri dari 36 genus. Adapun contoh spesiesnya adalah: Rana
chalconota, Rana hosii, Rana erythraea, Rana nicobariensis, Fejervarya
cancrivora, Fejervarya limnocharis, Limnonectes kuhli, Occidozyga sumatrana.
( Eprilurahman, 2007 )
d.
Microhylidae
Famili ini anggotanya berukuran kecil, sekitar 8-100 mm.
Kaki relatif panjang dibandingkan dengan tubuhnya. Terdapat gigi pada maxilla
dan mandibulanya, tapi beberapa genus tidak mempunyai gigi. Karena anggota
famili ini diurnal, maka pupilnya memanjang secara horizontal. Gelang bahunya
firmisternal. Contoh spesiesnya adalah: Microhyla achatina. (
Eprilurahman, 2007)
e.
Rachoporidae
Famili ini sering ditemukan di areal sawah. Beberapa jenis
mempunyai kulit yang kasar, tapi kebanyakan halus juga berbintil. Tipe gelang
bahu firmisternal. Pada maksila terdapat gigi seperti parut. Terdapat pula gigi
palatum. Sacral diapophysis gilig. Berkembang biak dengan ovipar dan
fertilisasi secara eksternal. ( Eprilurahman, 2007).
Habitat dan Persebaran
Amphibi
muncul pada pertengahan periode Jura, pra era Paleozoik sebagai vertebrata yang
tertua. Kebanyakan Rana sp. adalah hewan tropis, karena sifatnya yang
poikiloterm atau berdarah dingin. Amphibi memerlukan sinar matahari untuk
mendapatkan panas ke tubuhnya, karena tidak bisa memproduksi panas sendiri.
Oleh karena itu banyak amphibi yang ditemukan di wilatah tropis dan sub tropis,
termasuk di seluruh indonesia.
Amphibi
umumnya merupakan makhluk semi akuatik, yang hidup di darat pada daerah yang
terdapat air tawar yang tenang dan dangkal. Tetapi ada juga amphibi yang hidup
di pohon sejak lahir sampai mati, dan ada juga yang hidup di air sepanjang
hidupnya. Amphibi banyak ditemukan di areal sawah, daerah sekitar sungai, rawa,
kolam, bahkan di lingkungan perumahan pun bisa ditemukan.
Reproduksi
Reproduksi
pada amphibi ada dua macam yaitu secara eksternal pada anura pada umumnya dan
internal pada Ordo Apoda. Proses perkawinan secara eksternal dilakukan di dalam
perairan yang tenang dan dangkal. Di musim kawin, pada anura ditemukan fenomena
unik yang disebut dengan amplexus, yaitu katak jantan yang berukuran lebih
kecil menempel di punggung betina dan mendekap erat tubuh betina yang lebih
besar. Perilaku tersebut bermaksud untuk menekan tubuh betina agar mengeluarkan
sel telurnya sehingga bisa dibuahi jantannya. Amplexus bisa terjadi antara satu
betina dengan 2 sampai 4 pejantan di bagian dorsalnya dan sering terjadi persaingan
antar pejantan pada musim kawin. Siapa yang paling lama bertahan dengan
amplexusnya, dia yang mendapatkan betinanya. Amphibi berkembang biak secara
ovipar, yaitu dengan bertelur, namun ada juga beberapa famili amphibi yang
vivipar, yaitu beberapa anggota ordo apoda. (Duellman and Trueb, 1986)
PEMBAHASAN
Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk
jenis amfibi yang berukuran kecil makanan utamanya adalah artropoda, cacing dan
larva serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah
ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular
kecil. Pada saat berudu, kabanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis tertentu
yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali. Kebutuhan
makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya (Iskandar 1998). Sebagian besar
amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu
Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang
lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar
2003, Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air
(Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri
dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi
digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000).
Fertilisasi pada amfibi terjadi secara internal maupun eksternal. Sesilia adalah
ordo yang melakukan fertilisasi internal. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana
sesilia melakukan kawin. Caudata juga melakukan fertilisasi internal dan Anura
melakukan fertilisasi eksternal (Goin & Goin 1971).
Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk
mempertahankan diri. Sebagian besar Anura melompat untuk melarikan diri dari
predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi
dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi
dari predator.
Faktor
yang mempengaruhi kehidupan Rana sp.
1.
Faktor Lingkungan
Suhu
dan kelembapan memilki peranan yang sangat penting bagi kehidupan Rana sp..
Rana sp. merupakan hewan berdarah dingin atau poikilotermal atau ekotermal,
suhu tubuh mereka berfluktuasi mengikuti suhu lingkunagan . suhu udara yang
optimal bagi rana sp. adalah sekitar 18-22,5oC dengan kelembaban
berkisar antara 81%-100%. Sedangkan suhu air berkisar antara 19-23oC.
Rana
sp. biasanya memiliki sarang yang berupa gumpalan busa sabun berwarna putih
yang disimpan dipinggir sungai ataupun dipangkal pohon yang jauh dari arus yang
deras yang dapat membawa sarang tersebut. Masa bertelur Rana sp. berada pada
bulan Mei sampai Juli (biasanya pada saat bulan mati), menjelang hujan.
2.
Faktor Ruang Hidup
Rana sp. sangat
sensitive terhadap perubahan disekitarnya apalagi saat ini pembangunan sedang
marak dimana-mana. Hal ini akan menyebabkan terganggunya kehidupan Rana sp.
tersebut. Dengan perubahan lingkungan hidup tersebut akan membuat Rana sp.
menjadi terdesak karena tempat berkembang biaknya semakin sempit dan makanannya
pun semakin sedikit pula.
Selain itu
pencemaran lingkungan juga sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Rana
sp. terutama pencemaran sumber perairan. Sebagaimana yang telah diketahui,
sumber perairan dialam ,merupakan tempat dimana Rana sp. membuat sarang yang
berupa gumpalan busa berwarna putih dan menyimpan telurnya yang siap untuk
dibuahi. Dengan tercemarnya daerah perairan tersebut tentunya akan membuat
populasi Rana sp. semakin menurun dam terancam punah. Selain mengancam telur
mereka perairan yang tercemar juga akan membuat berudu yang merupakan hasil
perkembangan telur sebelum dewasa juga akan tergamggu pertumbuhannya karena berudu
Rana sp. sepanjang hidupnya akan selalu berada di dalam air karena mereka
bernafas dengan menggunakan insang dan belum memiliki paru-paru seperti Rana sp.
dewasa nantinya.
3.
Faktor Perubahan/Pergeseran Musim
Belakangan ini dunia dilanda
kekhawatiran akan suatu isu yang bernama climate change atau perubahan musim.
Dalam keadaan tersebut musim yang ada di dunia akan kacau sehingga tidak sesuai
dengan urutan musim yang terjadi sebelumnya, dengan kata lain perubahan musim
tidak akan dapat diprediksi lagi. Keadaan yang demikian tidak hanya berpengaruh
terhadap kehidupan manusia namun juga berdampak bagi seluruh makhluk hidup
termasuk Rana sp. Dengan adanya perubahan musim ini akan berpengaruh pada
proses berelur dari Rana sp. karena Rana sp. baru akan bertelur katika memasuki
musim penghujan. Namun dangan tidak menentunya musim akan membuat siklus
bertelunya berubah. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap jumlah populasi
Rana sp. nantinya karena proses bertelurnya terganggu sehingga secara otomatis
proses regenerasinya akan terhambat juga.
4.
Faktor Predator
Predator adalah ancaman alami dari
Rana sp. Predator dan mangsa adaalah komponen yang tidak dapat dipisahkan
karena keduanya berperan penting dalam menjaga keseimbangan dalam sebuah
ekosistem. Apabila jumlah predator dan mangsanya tidak seimbang (lebih banyak
salah satunya) akan membuat keseimbangan didalam ekosistem tersebut menjadi
terganggu. Keadaan tersebut terjadi pada Rana sp. belakangan ini, karena selain
predator alami yang berupa reptile seperi ular Rana sp. juga harus berhadapan
dengan jenis predator lain yaitu manusia. Sudah lama diketahui Rana sp.
merupakan salah satu komoditas yang dimanfaatkan manusia untuk keperluan pakan
peliharaan atau ternak bahkan untuk keperluan makan. Banyaknnya predator yang
memangsa Rana sp. ini akan mengancam keberadaanya di alam.
Tingkat
pertumbuhan berudu Rana sp. perlu diketahui untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
kehidupannya seperti faktor kepadatan, kompetisi inter dan intra spesifik untuk
mendapatkan makanan, ruang hidup dan sumber kehidupan lainnya. Perbedaan durasi
perkembangan larva/berudu ini juga di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti
temperature, ketersedian makanan keadaan udara serta kepadatan. Konsekuensi
dari keadaan ini adalah adanya perbedaan durasi dalam proses metamorphosis
antara Rana sp. walaupun keduanya merupakan spesies yang sama.
Sebagian
besar anggota anura termasuk Rana sp. ini bertelur dipinggir kolam maupun
genangan air yang memilki banyak spesies alga dan plankton yang dapat membantu
pertumbuhan berudu. Konsekuensinya jenis makanan yang dikonsumsi oleh berudu
tergantung dari ketersediaan makanan dimana ia berada. Sebagian besar berudu bersifat herbivore atau
omnivore dan ada sebagian kecil bersifat kanibal atau karnivora.
Kecacatan pada amfibi sudah lama terjadi, tetapi
jarang sekali dijelaskan dan sedikit sekali dokumentasi. Amerika Utara
merupakan salah satu tempat yang ada laporan tentang kecacatan pada amfibi
(Johnson et al. 2003). Sebanyak 38 jenis katak dan 19 jenis kodok
ditemukan cacat di 44 negara bagian Amerika Serikat. Diperkirakan 60% dari
populasi yang bermetamorfosis di kolam mengalami kecacatan (NARCAM 1999 dalam
Meteyer 2000). Rana pipiens merupakan salah satu contoh yang mengalami
kecacatan, kecacatan meningkat dari 0,4% pada tahun 1958-1963 menjadi 2,5% pada
tahun 1996-1997 (Hoppe 2000 dalam Johnson et al. 2003). Beberapa
hipotesis yang menjadi penyebab kecacatan amfibi antara lain hilang dan
berubahnya fungsi habitat, pencemaran lingkungan, radiasi UV-B, kontaminasi
kimia, terinfeksi penyakit dan perubahan iklim global (Cohen 2001, Beebee &
Griffiths 2005). Hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan populasi amfibi.
Radiansyah (2004) menemukan delapan klasifikasi kecacatan pada 6 jenis amfibi
di Sungai Cilember, yang meliputi brachydactyly, ectrodactyly, polydactyly,
ectromelia, ujung jari bengkak, daging tambahan, benjolan perut, dan
kaki patah. Sedangkan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan terdapat 34
individu (4.89%) ketidaknormalan morfologis pada amfibi. Ketidaknormalan
digolongkan sebagai parasit (52.94%), trauma (29.41%), ketidaknormalan
perkembangan (11.76%) dan lainnya (5.88%). Ketidaknormalan tersebut mungkin
disebabkan oleh parasit, predator, ketidaknormalan regenerasi, ketidaknormalan
genetik atau polusi.
Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi
kehidupan manusia, yakni peranan ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis,
amfibi memiliki peranan penting dalam rantai makanan sebagai konsumen sekunder.
Amfibi memakan serangga sehingga dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama
dalam 7 pengendalian populasi serangga. Selain itu, amfibi juga dapat berfungsi
sebagai bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki
respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins & Cohen 1997). Peranan
amfibi dari segi ekonomis dapat ditinjau dari pemanfaatan amfibi untuk
kepentingan konsumsi. Selain untuk tujuan konsumsi, amfibi memiliki kegunaan yang
lain yaitu sebagai binatang peliharaan, binatang percobaan dan bahan
obat-obatan (Stebbins & Cohen 1997).
\
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat
diambil dari pembahasan makalah ini adalah :
1.
Rana sp. memerlukan lingkungan yang
kondusif untuk dapat berkembang biak dengan optimal
2.
Ancaman yang mempengaruhi eksistensi
Rana sp. dan amphibi lainnya adalah pencemaran lingkungan, penebangan hutan dan
eksplorasi yang berlebihan.
3.
Rana sp. dan anggota anura lainnya dapat
digunakan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan
4.
Rana sp. dan beberapa anura lainnya
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan dan bahan pakan hewan ternak lainnya.
|
|
|
DAFTAR PUSTAKA
Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology
of Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York
Eprilurahman, 2007. Frogs and Toads of
Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. International Seminar Advances in
Biological Science. Fakultas Bilogi UGM
Iskandar, D. T. and E. Colijn. 2000. Preliminary
Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia
31 (3): 1-133.
Johnson
PTJ, Lunde KB, Zelmer DA, Werner JK. 2003. Limb deformities as an emerging
parasitic disease in amphibians: Evidence from Museum Specimens and Resurvey
Data. Biological Conservation 17 : 1724-1737.
Mistar. 2003. Panduan
Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The
Gibbon Foundation & PILI-NGO
Movement.
Pough, F. H, et. al. 1998. Herpetology.
Prentice-Hall,Inc. New Jersey. Pp. 37-131
Radiansyah
S. 2004. Keanekaragaman spesies amfibi dan biologi populasi Limnonectes
kuhlii di Sungai Cilember dalam Kawasan Wana Wisata Curug Cilember,
Bogor-Jawa Barat. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumber daya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zug, George R. 1993. Herpetology : an
Introductory Biology of Ampibians and Reptiles. Academic Press. London, p :
357 – 358.
No comments:
Post a Comment