Monday, November 26, 2012

Galli Manini

Monday, November 26, 2012 0
Galli Manini

I.       PENDAHULUAN
        Latar Belakang
Pada hewan multiseluler harus mengatasi masalah koordinasi kegiatan berbagai macam sel-selnya. Hewan memerlukan beberapa mekanisme yang digunakan oleh berbagai macam sel, jaringan, dan organ tubuh untuk berkomunikasi. Dengan ini semua fungsi struktur akan lebih efisien terkoordinasi dengan baik.
Salah satu cara sistem komunikasinya yaitu sistem endokrin (hormon). Sistem ini mengontrol fungsi tubuh dengan perantaraan zat kimia, yaitu hormon, yang diangkut ke seluruh tubuh dalam darah. Hormon-hormon ini kemudian diedarkan ke semua sel tubuh lainnya. Dalam beberapa hal, hormon-hormon ini akan mempengaruhi kegiatan semua sel tersebut. Hormon menggunakan efeknya hanya pada strukutur tubuh tertentu saja. Hormon-hormon tersebut akan setiap aktifitas dan sifat pada hewan khususnya pada manusia. Aktifitas dapat berupa aktifitas sosial, sexual, adaptasi, dan pola hidup.

        Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan adanya hormon choriogonadotropin dalam urin wanita hamil.


II.    TINJAUAN PUSTAKA
Mesenjer (pembawa pesan) kimiawi yaitu hormon, merupakan sistem endokrin yang bersama-sama dengan sistem saraf, memadukan aktifitas organ-organ dan jaringan hewan multisel yang kompleks. Tiap jenis hormon disekresi secara khas oleh sel-sel tertentu yang merupakan kelenjar endokrin. Hormon masuk ke dalam peredaran darah dan dibawa ke seluruh tubuh, ke organ-organ sasaran yang mempunyai sel yang mengandung protein reseptor tertentu yang menerima dan mengikat hormon (Sumadia, 1996).
Ovarium vertebrata di samping penghasil telur, juga merupakan organ endokrin. Ovarium menghasilkan hormon steroid estradiol dan progesteron. Pada manusia sumber utama dari hormon kehamilan wanita adalah sel-sel yang melapisi folikel ovarium dan korpus luteum yang terbentuk setelah terjadi ovulasi. Sel-sel folikel terutama mensekresi estradiol, dan sel-sel luteum terutama mensekresi progesteron. Pada wanita ada 3 macam hormon gonadotropin yang berperan yaitu (Wheeler, 2000):
  1. FSH (Folikel Stimulating Hormon): pada wanita, merangsang perkembangan ovarium dan mengurangi sekresi estrogen.
  2. LH (Luteinzing Hormon): Pada wanita, bersama-sama dengan estrogen menstimulasi ovulasi dan pembentukan progesteron.
  3. LTH (Luteotropic Hormon): berguna untuk menstimulasi sekresi air susu oleh kelenjar susu. 
Jika telur telah dibuahi dan tertanam dalam endometrium, sel-sel trofoblas dalam plasenta yang sedang berkembang mensekresi gonadotropin korion. Aktivitas lutein dan luteotrofiknya yang kuat mempertahankan korpus luteum dan merangsang sekresi progesteron selanjutnya. Salah satu gejala pertama kehamilan adalah adanya gonadotropin korion dalam darah dan urin. Puncak produksi hormon tersebut dicapai dalam bulan kehamilan kedua. Setelah itu kadarnya dalam darah dan urin menurun (Kimball, 1988).
Dalam beberapa hari setelah penanaman blastosis, sel-sel yang akan berkembang manjadi plasenta mulai menyekresikan gonadotropin korionik manusia (choriogonadotropin (HCG)). Aksi hormon ini sama dengan aksi FSH dan LH, tetapi berlawanan dengan hormon-hormon ini, sekresi HCG tidak dihambat oleh tingginya kadar progesteron dan estrogen. Jadi HCG dalam air seni wanita hamil merupakan dasar bagi uji kehamilan yang paling sering digunakan (Wulangi, 1994).
Suatu uji radioimunosasi yang peka untuk hormone gonadotropinkorion dapat menentukan kehamilan hanya beberapa hari setelah tertanamnya embrio. Pada manusia kira-kira minggu ke-16 kehamilan, plasenta dengan sendirinya menghasilkan cukup progesterone sehingga korpus luteum tidak lagi diperlukan dan mengalami involusi. Plasenta juga menghasilkan estrogen. Plasenta manusia, dan mungkin plasenta mamalia lain, memproduksi hormone protein lain, yaitu laktogen plasenta dengan sifat yang agak mirip dengan hormone pertumbuhan pituitari dan prolaktin (Villee, 1988).   

III. ALAT DAN BAHAN
        Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain objek gelas, pipet tetes, alat suntik, beker gelas, kertas saring, dan mikroskop.

        Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini antara lain urin wanita hamil muda, dan kodok jantan (Bufo sp.) 2 ekor.


IV. CARA KERJA
2 kodok jantan disiapkan untuk digunakan dalam percobaan ini. Diuji apakah mengandung sperma atau tidak, dengan cara di dalam kloakanya digelitikkan ujung pipet tetes, dilihat apakah ada bintil-bintil pada jari (telapak kaki depan) dan pada kulit leher berwarna kuning agak kemerahan dan bila dipegang akan mengeluarkan suara.
Satu ekor disuntik dengan urin wanita hamil yang tidak diencerkan dan yang lain disuntik dengan urin yang telah diencerkan, sebanyak 3 cc pada kandung limfe punggung kodok atau pada bagian bawah kulit perut. Katak dipegang dengan tangan kiri, punggung kodok dipegang dengan/pada telapak tangan, kaki pada arah pergelangan tangan dan kepala pada arah jari tangan. Ibu jari dan telunjuk menjepit kepala kodok, sedangkan jari kelingking dan jari manis memegang kaki belakang, kodok agak dibedirikan dan arah suntikan searah dengan kodok.
Urinnya diamati mulai 1 jam sejak penyuntikan di bawah mikroskop, spermatozoa akan tampak berenang-renang. Hasilnya dibandingkan dengan percobaan untuk urin yang diencerkan dan yang pekat.

IV. HASIL
Kelompok
Usia Kehamilan
Jumlah Sperma
Pekat
Pengenceran
1.
2 Bulan
-
-
2.
2 Bulan
+++
-
3.
2 Bulan 1 Minggu
+++
-
4.
2 Bulan
+++
+

Keterangan      : +++   = Jumlah banyak, bergerak aktif
  +        = Sedikit
-                  = Tidak ada


V.    PEMBAHASAN
Pada percobaan ini akan membuktikan adanya hormon choriogonadotropin dalam urin wanita hamil. Pada wanita, hormon ini akan disekresikan oleh kelenjar hipofisis setelah terjadinya ovulasi sekitar 1 sampai 3 bulan saat kehamilan. Percobaan ini menggunakan urin wanita hamil yang usia kehamilannya rata-rata 2 bulan. Jika urin diambil yang usia kehamilannya di atas 3 bulan, maka kandungan hormon choriogonadotopin di dalam urin sudah berkurang karena kadar di dalam darah dan urinnya berkurang. Urin untuk percobaan ini paling baik diambil sekitar 1 atau 2 jam sebelum percobaan. Karena dikhawatirkan urin akan mengalami perubahan kimiawi atau kadaluarsa, sehingga hormon choriogonadotropin yang dikandungnya akan berubah. Akibatnya percobaan akan mengalami kegagalan. Digunakan dua perlakuan yaitu urin yang diencerkan dengan aquades dan urin tanpa pengenderan, ini untuk melihat perbedaan perlakuan antar keduanya.
Dalam percobaan ini digunakan hewan kodok (Bufo sp.) sebagai media pembuktian ada atau tidaknya hormon choriogonadotropin dalam urin wanita hamil. Penggunaan kodok sebagai media, karena pada amfibia pengaruh hormon ini dapat menyebabkan ovulasi/ spermatogenesis dalam beberapa jam. Kodok yang digunakan adalah kodok jantan karena dengan ditambahkan hormon choriogonadotropin lebih dapat menyebabkan spermatogenesis dengan cepat sehingga dapat dengan cepat pula diketahui adanya hormon choriogonadotropin dalam urin wanita hamil. Ini ditandai dengan lebih banyaknya sperma kodok jantan dan pergerakannya juga lebih aktif.
Kodok yang digunakan dua ekor, satu akan disuntik dengan urin wanita hamil tanpa pengenceran dan yang satunya dengan pengenceran. Penyuntikan dilakukan pada bagian bawah kulit perut kodok. Ini dilakukan karena pada bagian tersebut cairan urin yang disuntikkan dapat langsung menuju testis kodok sehingga lebih cepat terjadi spermatogenesis.
Dari pengamatan dan hasil yang didapatkan, dapat diketahui bahwa dengan disuntikannya urin wanita hamil yang mengandung hormon choriogonadotropin maka kodok jantan lebih cepat mengalami spermatogenesis, dapat dilihat dari banyaknya jumlah sperma. Pada kodok yang disuntik dengan urin yang pekat (tanpa pengenceran), ternyata jumlah spermanya jauh lebih banyak dan pergerakannya lebih aktif. Dibandingkan dengan urin yang dilakukan pengenceran, jumlah spermanya tidak sebanyak urin tanpa pengenceran, malahan kebanyakan dari kodok yang dicobakan pada setiap kelompok tidak ditemukan sama sekali spermanya. Ini dikarenakan pada urin yang diencerkan kandungan hormon choriogonadotropinnya sudah tidak sebanyak urin tanpa pengenceran malahan kandungan hormon tersebut sudah hilang karena larut dalam air. Sebaliknya pada urin tanpa pengenceran, kandungan hormon ini masih sangat banyak sehingga peluang spermatogenesisnya lebih besar.
Pada salah satu kelompok percobaan, hasil yang didapatkannya sangat mengherankan. Karena pada kodok yang disuntik dengan urin tanpa pengenceran atau dengan pengenceran tidak ditemukan adanya sperma. Ini dikarenakan beberapa faktor:
  1. Urin yang digunakan umur kehamilannya sudah lebih dari 3 bulan.
  2. Urin yang diambil, pengambilannya sudah terlalu lama dari acara praktikum sehingga sudah kadaluarsa.
  3. Kodok yang digunakan mungkin bukan kodok jantan.
  4. Kodok jantan yang digunakan masih terlalu muda atau belum mencapai kematangan sexualnya.


VI. KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
  1. Hormon choriogonadotropin merupakan hormon yang ditemukan pada urin wanita hamil dan merupakan yang menentukan kehamilan.
  2. Pada percobaan telah ditemukan hormon choriogonadotropin pada urin wanita hamil yang dibuktikan dengan banyaknya sperma pada kodok jantan (Bufo sp.).
  3. Hormon choriogonadotropin dapat menyebabkan spermatogenesis dengan cepat pada hewan amfibia khususnya kodok (Bufo sp.)

VII. DAFTAR PUSTAKA


Kimball, John W., 1988. Biologi. Edisi Kelima. Jilid 2. Alih Bahasa: Siti Soetarmi Tjitrosomo dan Nawangsari Sugiri. Erlangga. Jakarta.
Sumadia, dkk. 1996. Hamparan Dunia Ilmu-Time Life: Tubuh Manusia. Tira Pustaka. Jakarta.
Villee, Claude A., Warren F. Walker, Jr., Robert D. Barnes. 1988. Zoologi Umum. Edisi Keenam. Jilid 1. Alih Bahasa: Nawangsari Sugiri. Erlangga. Jakarta.
Wheeler, L. 2000. Jendela IPTEK: Tubuh Manusia. Balai Pustaka. Jakarta.
Wulangi, K.S. 1994. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Depdikbud. Jakarta.








Hormon-Hormon Kehamilan
Ketika terjadi kehamilan pada diri seorang perempuan, maka tubuh bereaksi dengan membentuk perubahan-perubahan dan segera memproduksi hormon-hormon kehamilan guna mendukung kelangsungan kehamilan. Hormon-hormon kehamilan ini bertujuan guna mendukung kehamilan yang berlangsung khususnya agar janin dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat. Ada baiknya para ibu hamil mengetahui mengenai hormon yang diproduksi selama kehamilan berikut fungsi dan efek yang dihasilkan olehnya, agar tidak terjadi salah pengertian atau malah menjadikannya mitos kehamilan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi selama kehamilan.Berikut ini adalah beberapa hormon yang diproduksi selama kehamilan, berikut fungsi dan dampak yang dihasilkan, yaitu:
hCG merupakan hormon yang bersifat luteotrofik pada beberapa spesies , termasuk manusia, tikus, kelinci, babi dan sebagainya. hCG disekresi oleh plasenta, tidak seperti PMSG yang disekresi oleh endometrium uterus. hCG pada wanita berperan untuk mempertahankan corpora lutea selama tahap–tahap permulaan kebuntingan. Segera setelah ovulasi, korpus luteum akan cukup mendapat dorongan dari faktor-faktor luteotrofik hipofisa. Adanya dorongan ini menyebabkan korpus luteum tersebut secara fisiologis tetap aktif sampai hCG mulai dibentuk dalam jumlah yang cukup untuk bertindak sebagai luteotrofik. Sejumlah hCG yang dapat terukur timbul pada wanita hamil pada hari ke-5 sampai 16 setelah ovulasi, tetapi titer hCG tidak mencapai puncaknya sampai hari kehamilan yang ke-35 sampai 50 (Nalbandov, 1990).
hCG merupakan glikoprotein yang jauh lebih besar dengan berat molekul kira-kira 45.000 Dalton, tetapi lebih banyak mengandung residu gula dibandingkan dengan glikoprotein pituitary. Sifat-sifat khusus hCG yang diisolasi cenderung kurang seragam dibandingkan dengan sifat-sifat khusus hormon glikoprotein yang berasal dari pituitary, karena degradasi terutama rantai samping karbohidratnya dapat terjadi selama pembentukan urin. Hormon kehamilan ini hanya ditemukan pada tubuh seorang wanita hamil yang dibuat oleh embrio segera setelah pembuahan dan karena pertumbuhan jaringan plasenta. Hormon kehamilan yang dihasilkan oleh villi choriales ini berdampak pada meningkatnya produksi progesteron oleh indung telur sehingga menekan menstruasi dan menjaga kehamilan. Produksi HCG akan meningkat hingga sekitar hari ke 70 dan akan menurun selama sisa kehamilan. Hormon kehamilan HCG mungkin mempunyai fungsi tambahan, sebagai contoh diperkirakan HCG mempengaruhi toleransi imunitas pada kehamilan. Hormon ini merupakan indikator yang dideteksi oleh alat test kehamilan yang melalui air seni. Jika, alat test kehamilan mendeteksi adanya peningkatan kadar hormon HCG dalam urine, maka alat test kehamilan akan mengindikasikan sebagai terjadinya kehamilan atau hasil test positif
Dampak
Kadar HCG yang tinggi dalam darah menyebabkan mual-muntah (morning sickness).
2.      Hormon Kehamilan HPL (Human Placental Lactogen)
Adalah hormon yang dihasilkan oleh plasenta, merupakan hormon protein yang merangsang pertumbuhan dan menyebabkan perubahan dalam metabolisme karbohidrat dan lemak. Hormon kehamilan ini  berperan penting dalam produksi ASI. Kadar HPL yang rendah mengindikasikan plasenta yang tidak berfungsi dengan baik.
 Dampak
Memberikan perubahan terhadap payudara. Perubahan ini berupa pembesaran pada payudara,  serta membuat rasa ngilu dan sakit pada puting jika disentuh.
3.      Hormon Kehamilan Relaxin
Hormon kehamilan yang dihasilkan oleh korpus luteum dan plasenta. Melembutkan leher rahim dan merelaksasikan sendi panggul
Dampak
menimbulkan relaksasi pada ligamen dan sendi
4.      Hormon Kehamilan Estrogen
Dihasilkan oleh ovarium dan mempengaruhi pertumbuhan endometrium rahim, perubahan-perubahan histologi pada vagina. Memperngaruhi pertumbuhan saluran kelenjar mammae sewaktu menyusui, mengontrol pelepasan LH dan FSH, mensensitifkan otot-otot uterus, mengendorkan serviks, vagina, vulva, serta menimbulkan kontraksi pada rahim. Estrogen juga memperkuat dinding rahim untuk mengatasi kontraksi saar persalinan. Hormon ini juga melembutkan jaringan tubuh, sehingga jaringan ikat dan sendi tubuh menjadi lemah sehingga tidak dapat menyangga tubuh dengan kuat. Berperan penting dalam menjaga kesehatan sistem genital, organ reproduksi dan payudara.
Dampak
Dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh sehingga terjadi penimbunan cairan yang menyebabkan pembengkakan. Selain itu dengan peningkatan hormon ini ibu hamil sering merasa sakit punggung. Dapat juga menyebabkan varises.
5.      Hormon Kehamilan Progesteron
Hormon ini berfungsi untuk membangun lapisan di dinding rahim untuk menyangga plasenta di dalam rahim. Juga dapat berfungsi untuk mencegah gerakan kontraksi atau pengerutan otot-otot rahim, sehingga persalinan dini bisa dihindari. Hormon ini juga membantu menyiapkan payudara untuk menyusui.
Dampak
Hormon ini dapat "mengembangkan" pembuluh darah sehingga menurunkan tekanan darah, itu penyebab mengapa Anda sering pusing saat hamil. Hormon ini juga membuat sistem pencernaan jadi lambat, perut menjadi kembung atau sembelit. Hormon ini juga mempengaruhi perasaan dan suasana hati ibu, meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan pernafasan, mual, dan menurunnya gairah seks selama hamil.
6.      Hormon Kehamilan MSH (Melanocyte Stimulating Hormone)
Hormon kehamilan ini merangsang terjadinya pigmentasi pada kulit
Dampak
Menggelapkan warna puting susu dan daerah sekitarnya. Pigmentasi kecoklatan pada wajah, pada bagian dalam dan garis dari pusar ke baeah (linea nigra)

Sunday, November 25, 2012

Deskripsi Rana sp.

Sunday, November 25, 2012 0
Deskripsi Rana sp.

PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Rana sp. merupakan komponen penting dalam habitatair tawar dan teresterial. Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan Rana sp., baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis Rana sp. selain sebagai  rantai makanan juga dapat dijadikan sebagai bioindikator terhadap kualitas perairan, seperti sungai. Secara ekonomis beberapa jenis Rana sp. telah lama dikenal sebagai bahan makanan oleh masyarakat secara luas dan dapat mendatangkan keuntungan dari perdagangannya.
            Rana sp. hidup didaerah yang lembab dimana banyak kandungan airnya. Rana sp. aktif pada malam hari (nocturnal) dan biasanya memakan serangga yang keluar pada malam hari. Rana sp. bertelur di daerah yang tergenang air, sarangnya berupa gumpalan busa yang berwarna putih. Kehidupan Rana sp. sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan dimana ia hidup. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan Rana sp. adalah pencemaran air dan penebangan hutan.

1.2.  Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menggambarkan kehidupan Rana sp. dan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan dari Rana sp. dengan demikian diharapkan kita dapat menjaga lingkugan guna kelestarian spesies Rana sp..


TINJAUAN PUSTAKA
Amphibi merupakan hewan dengan kelembaban kulit yang tinggi, tidak tertutupi oleh rambut dan mampu hidup di air maupun di darat. Amphibia berasal dari bahasa Yunani yaitu Amphi yang berarti dua dan Bios yang berarti hidup. Karena itu amphibi diartikan sebagai hewan yang mempunyai dua bentuk kehidupan yaitu di darat dan di air. Pada umumnya, amphibia mempunyai siklus hidup awal di perairan dan siklus hidup kedua adalah di daratan. ( Zug, 1993)
Pada fase berudu amphibi hidup di perairan dan bernafas dengan insang. Pada fase ini berudu bergerak menggunakan ekor. Pada fase dewasa hidup di darat dan bernafas dengan paru-paru. Pada fase dewasa ini amphibi bergerak dengan kaki. Perubahan cara bernafas yang seiring dengan peralihan kehidupan dari perairan ke daratan menyebabkan hilangnya insang dan rangka insang lama kelamaan menghilang. Pada anura, tidak ditemukan leher sebagai mekanisme adaptasi terhadap hidup di dalam liang dan bergerak dengan cara melompat. (Zug, 1993)
Amphibia memiliki kelopak mata dan kelenjar air mata yang berkembang baik. Pada mata terdapat membrana nictitans yang berfungsi untuk melindungi mata dari debu, kekeringan dan kondisi lain yang menyebabkan kerusakan pada mata. Sistem syaraf mengalami modifikasi seiring dengan perubahan fase hidup. Otak depan menjadi lebih besar dan hemisphaerium cerebri terbagi sempurna. Pada cerebellum konvulasi hampir tidak berkembang. Pada fase dewasa mulai terbentuk kelenjar ludah yang menghasilkan bahan pelembab atau perekat. Walaupun demikian, tidak semua amphibi melalui siklus hidup dari kehidupan perairan ke daratan. Pada beberapa amphibi, misalnya anggota Plethodontidae, tetap tinggal dalam perairan dan tidak menjadi dewasa. Selama hidup tetap dalam fase berudu, bernafas dengan insang dan berkembang biak secara neotoni. Ada beberapa jenis amphibi lain yang sebagian hidupnya berada di daratan, tetapi pada waktu tertentu kembali ke air untuk berkembang biak. Tapi ada juga beberapa jenis yang hanya hidup di darat selama hidupnya. Pada kelompok ini tidak terdapat stadium larva dalam air. (Duellman and Trueb, 1986)
Adapun ciri-ciri umum anggota amphibia adalah sebagai berikut:
1. Memilliki anggota gerak yang secara anamotis pentadactylus, kecuali pada apoda yang anggota geraknya terduksi.
2. Tidak memiliki kuku dan cakar, tetapi ada beberapa anggota amphibia yang pada ujung jarinya mengalami penandukan membentuk kuku dan cakar, contoh Xenopus sp..
3. Kulit memiliki dua kelenjar yaitu kelenjar mukosa dan atau kelenjar berbintil ( biasanya beracun).
4. Pernafasan dengan insang, kulit, paru-paru.
5. Mempunyai sistem pendengaran, yaitu berupa saluran auditory dan dikenal dengan tympanum.
6. Jantung terdiri dari tiga lobi ( 1 ventrikel dan 2 atrium)
7. Mempunyai struktur gigi, yaitu gigi maxilla dan gigi palatum.
8. Merupakan hewan poikiloterm.
(Duellman and Trueb, 1986)
 Sistematika
Anggota amphibia terdiri dari 4 ordo yaitu Urodela (Salamander), Apoda (Caecilia), dan Anura ( katak dan kodok), Proanura (telah punah). Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
SuperClass : Tetrapoda
Class : Amphibia
Ordo : a Caecilia Gymnophiona
- Familia Ichthyopidae , Familia Caecilidae, Familia Rhinatrematidae, Familia Scoleocomorphidae, Familia Uracotyphlidae, Familia Typhlonectidae
b Urodela
Subordo : Cryptobranchoidea
- Familia Cryptobranchidae, Familia Hynobiidae
Subordo : Salamandroidea
- Familia Salamandridae, Familia Proteidae, Familia Ambystomatidae, Familia Amphiumidae, Familia Dicamtodontidae, Familia Plethodontidae
Subordo : Meantes
- Familia Sirenidae
c. Anura
Subordo : Archaeobatrachia
- Familia Discoglossidae , Familia Ascaphidae, Familia Leiopelmatidae
Subordo : Mesobatrachia
- Familia Pipidae, Familia Rhinophrynidae, Familia Pelobatidae, Familia Pelodytidae
Subordo : Neobatrachia
- Familia Bufonidae, Familia Microhylidae, Familia Ranidae, Familia Pelobatidae (Megophrydae) , Familia Rhacophoridae, Familia Dendrobatidae, Familia Hylidae, Familia Pelodryadidae, Familia Myobatrachidae, Familia Sooglossidae, Familia Psedidae
d. Proanura ( telah punah )
(Zug, 1993; Iskandar & Colijn, 2000 ; Eprilurahman, 2007)
1. Ordo Caecilia ( Gymnophiona)
Ordo ini mempunyai anggota yang ciri umumnya adalah tidak mempunyai kaki sehingga disebut Apoda. Tubuh menyerupai cacing (gilig), bersegmen, tidak bertungkai, dan ekor mereduksi. Hewan ini mempunyai kulit yang kompak, mata tereduksi, tertutup oleh kulit atau tulang, retina pada beberapa spesies berfungsi sebagai fotoreseptor. Di bagian anterior terdapat tentakel yang fungsinya sebagai organ sensory. Kelompok ini menunjukkan 2 bentuk dalam daur hidupnya. Pada fase larva hidup dalam air dan bernafas dengan insang. Pada fase dewasa insang mengalami reduksi, dan biasanya ditemukan di dalam tanah atau di lingkungan akuatik. Fertilisasi pada Caecilia terjadi secara internal. ( Webb et.al, 1981)
Ordo Caecilia mempunyai 5 famili yaitu Rhinatrematidae, Ichtyopiidae, Uraeotyphilidae, Scolecomorphiidae, dan Caecilidae. Famili Caecilidae mempunyai 3 subfamili yaitu Dermophinae, Caecilinae dan Typhlonectinae. ( Webb et.al, 1981)
Famili yang ada di indonesia adalah Ichtyopiidae. Anggota famili ini mempunyai ciri-ciri tubuh yang bersisik, ekornya pendek, mata relatif berkembang. Reproduksi dengan oviparous. Larva berenang bebas di air dengan tiga pasang insang yang bercabang yang segera hilang walaupun membutuhkan waktu yang lama di air sebelum metamorphosis. Anggota famili ini yang ditemukan di indonesia adalah Ichtyophis sp., yaitu di propinsi DIY.
2. Ordo Urodela
Urodela disebut juga caudata. Ordo ini mempunyai ciri bentuk tubuh memanjang, mempunyai anggota gerak dan ekor serta tidak memiliki tympanum. Tubuh dapat dibedakan antara kepala, leher dan badan. Beberapa spesies mempunyai insang dan yang lainnya bernafas dengan paru-paru. Pada bagaian kepala terdapat mata yang kecil dan pada beberapa jenis, mata mengalami reduksi. Fase larva hampir mirip dengan fase dewasa. Anggota ordo Urodela hidup di darat akan tetapi tidak dapat lepas dari air. Pola persebarannya meliputi wilayah Amerika Utara, Asia Tengah, Jepang dan Eropa. (Pough et. al, 1998)
Urodella mempunyai 3 sub ordo yaitu Sirenidea, Cryptobranchoidea dan Salamandroidea. Sub ordo Sirenidae hanya memiliki 1 famili yaitu Sirenidae, sedangkan sub ordo Cryptobranchoidea memiliki 2 famili yaitu Cryptobranchidae dan Hynobiidae. Sub ordo Salamandroidea memiliki 7 famili yaitu Amphiumidae, Plethodontidae, Rhyacotritoniade, Proteidae, Ambystomatidae, Dicamptodontidae dan Salamandridae. ( Pough et. al., 1998)
3. Ordo Proanura
Anggota-anggota ordo ini tidak dapat diketemukan atau dapat dikatakan telah punah. Anggota-anggota ordo ini hidupnya di habitat akuatik sebagai larva dan hanya sedikit saja yang menunjukkan perkembangan ke arah dewasa. Ciri-ciri umumnya adalah mata kecil, tungkai depan kecil, tanpa tungkai belakang, kedua rahang dilapisi bahan tanduk, mempunyai 3 pasang insang luar dan paru-paru mengalami sedikit perkembangan. Amphibi ini tidak menunjukkan adanya dua bentuk dalam daur hidupnya. (Duellman and Trueb, 1986)

4. Ordo Anura
Nama anura mempunyai arti tidak memiliki ekor. Seperti namanya, anggota ordo ini mempunyai ciri umum tidak mempunyai ekor, kepala bersatu dengan badan, tidak mempunyai leher dan tungkai berkembang baik. Tungkai belakang lebih besar daripada tungkai depan. Hal ini mendukung pergerakannya yaitu dengan melompat. Pada beberapa famili terdapat selaput diantara jari-jarinya. Membrana tympanum terletak di permukaan kulit dengan ukuran yang cukup besar dan terletak di belakang mata. Kelopak mata dapat digerakkan. Mata berukuran besar dan berkembang dengan baik. Fertilisasi secara eksternal dan prosesnya dilakukan di perairan yang tenang dan dangkal. (Duellman and Trueb, 1986)
Ordo Anura dibagi menjadi 27 famili, yaitu:
Ascaphidae, Leiopelmatidae, Bombinatoridae
Discoglossidae, Pipidae, Rhinophrynidae,
Megophryidae, Pelodytidae, Pelobatidae,
Allophrynidae, Bufonidae, Branchycephalidae,
Centrolenidae, Heleophrynidae, Hylidae,
Leptodactylidae, Myobatrachidae, Pseudidae,
Rhinodermatidae, Sooglossidae, Arthroleptidae,
Dendrobatidae, Hemisotidae, Hyperoliidae,
Microhylidae, Ranidae, Rachoporidae,
( Pough et. al.,1998)
Ada 5 Famili yang terdapat di indonesia yaitu Bufonidae, Megophryidae, Ranidae, Microhylidae dan Rachoporidae. Adapun penjelasan mengenai kelima famili tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bufonidae
Famili ini sering disebut kodok sejati. Ciri-siri umumnya yaitu kulit kasar dan berbintil, terdapat kelenjar paratoid di belakang tympanum dan terdapat pematang di kepala. Mempunyai tipe gelang bahu arciferal. Sacral diapophisis melebar. Bufo mempunyai mulut yang lebar akan tetapi tidak memiliki gigi. Tungkai belakang lebih panjang dari pada tungkai depan dan jari-jari tidak mempunyai selaput. Fertilisasi berlangsung secara eksternal. Famili ini terdiri dari 18 genera dan kurang lebih 300 spesies. Beberapa contoh famili Bufo yang ada di Indonesia antara lain: Bufo asper, Bufo biporcatus, Bufo melanosticus dan Leptophryne borbonica. ( Eprilurahman, 2007 )
b. Megophryidae
Ciri khas yang paling menonjol adalah terdapatnya bangunan seperti tanduk di atas matanya, yang merupakan modifikasi dari kelopak matanya. Pada umumnya famili ini berukuran tubuh kecil. Tungkai relatif pendek sehingga pergerakannya lambat dan kurang lincah. Gelang bahu bertipe firmisternal. Hidup di hutan dataran tinggi. Pada fase berudu terdapat alat mulut seperti mangkuk untuk mencari makan di permukaan air. Adapun contoh spesies anggota famili ini adalah Megophrys montana dan Leptobranchium hasselti. ( Eprilurahman, 2007)
c. Ranidae
Famili ini sering disebut juga katak sejati. Bentuk tubuhnya relatif ramping. Tungkai relatif panjang dan diantara jari-jarinya terdapat selaput untuk membantu berenang. Kulitnya halus, licin dan ada beberapa yang berbintil. Gelang bahu bertipe firmisternal. Pada kepala tidak ada pematang seperti pada Bufo. Mulutnya lebar dan terdapat gigi seperti parut di bagian maxillanya. Sacral diapophysis gilig. Fertilisasi secara eksternal dan bersifat ovipar. Famili ini terdiri dari 36 genus. Adapun contoh spesiesnya adalah: Rana chalconota, Rana hosii, Rana erythraea, Rana nicobariensis, Fejervarya cancrivora, Fejervarya limnocharis, Limnonectes kuhli, Occidozyga sumatrana. ( Eprilurahman, 2007 )
 d. Microhylidae
Famili ini anggotanya berukuran kecil, sekitar 8-100 mm. Kaki relatif panjang dibandingkan dengan tubuhnya. Terdapat gigi pada maxilla dan mandibulanya, tapi beberapa genus tidak mempunyai gigi. Karena anggota famili ini diurnal, maka pupilnya memanjang secara horizontal. Gelang bahunya firmisternal. Contoh spesiesnya adalah: Microhyla achatina. ( Eprilurahman, 2007)
e. Rachoporidae
Famili ini sering ditemukan di areal sawah. Beberapa jenis mempunyai kulit yang kasar, tapi kebanyakan halus juga berbintil. Tipe gelang bahu firmisternal. Pada maksila terdapat gigi seperti parut. Terdapat pula gigi palatum. Sacral diapophysis gilig. Berkembang biak dengan ovipar dan fertilisasi secara eksternal. ( Eprilurahman, 2007).
Habitat dan Persebaran
Amphibi muncul pada pertengahan periode Jura, pra era Paleozoik sebagai vertebrata yang tertua. Kebanyakan Rana sp. adalah hewan tropis, karena sifatnya yang poikiloterm atau berdarah dingin. Amphibi memerlukan sinar matahari untuk mendapatkan panas ke tubuhnya, karena tidak bisa memproduksi panas sendiri. Oleh karena itu banyak amphibi yang ditemukan di wilatah tropis dan sub tropis, termasuk di seluruh indonesia.
Amphibi umumnya merupakan makhluk semi akuatik, yang hidup di darat pada daerah yang terdapat air tawar yang tenang dan dangkal. Tetapi ada juga amphibi yang hidup di pohon sejak lahir sampai mati, dan ada juga yang hidup di air sepanjang hidupnya. Amphibi banyak ditemukan di areal sawah, daerah sekitar sungai, rawa, kolam, bahkan di lingkungan perumahan pun bisa ditemukan.
Reproduksi
Reproduksi pada amphibi ada dua macam yaitu secara eksternal pada anura pada umumnya dan internal pada Ordo Apoda. Proses perkawinan secara eksternal dilakukan di dalam perairan yang tenang dan dangkal. Di musim kawin, pada anura ditemukan fenomena unik yang disebut dengan amplexus, yaitu katak jantan yang berukuran lebih kecil menempel di punggung betina dan mendekap erat tubuh betina yang lebih besar. Perilaku tersebut bermaksud untuk menekan tubuh betina agar mengeluarkan sel telurnya sehingga bisa dibuahi jantannya. Amplexus bisa terjadi antara satu betina dengan 2 sampai 4 pejantan di bagian dorsalnya dan sering terjadi persaingan antar pejantan pada musim kawin. Siapa yang paling lama bertahan dengan amplexusnya, dia yang mendapatkan betinanya. Amphibi berkembang biak secara ovipar, yaitu dengan bertelur, namun ada juga beberapa famili amphibi yang vivipar, yaitu beberapa anggota ordo apoda. (Duellman and Trueb, 1986)







PEMBAHASAN
Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk jenis amfibi yang berukuran kecil makanan utamanya adalah artropoda, cacing dan larva serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil. Pada saat berudu, kabanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis tertentu yang bersifat karnivora dan tidak memerlukan makan sama sekali. Kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya (Iskandar 1998). Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu
Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Mistar 2003, Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk pernapasan selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000). Fertilisasi pada amfibi terjadi secara internal maupun eksternal. Sesilia adalah ordo yang melakukan fertilisasi internal. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana sesilia melakukan kawin. Caudata juga melakukan fertilisasi internal dan Anura melakukan fertilisasi eksternal (Goin & Goin 1971).
Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar Anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator.
Faktor yang mempengaruhi kehidupan Rana sp.
1. Faktor Lingkungan
Suhu dan kelembapan memilki peranan yang sangat penting bagi kehidupan Rana sp.. Rana sp. merupakan hewan berdarah dingin atau poikilotermal atau ekotermal, suhu tubuh mereka berfluktuasi mengikuti suhu lingkunagan . suhu udara yang optimal bagi rana sp. adalah sekitar 18-22,5oC dengan kelembaban berkisar antara 81%-100%. Sedangkan suhu air berkisar antara 19-23oC.
Rana sp. biasanya memiliki sarang yang berupa gumpalan busa sabun berwarna putih yang disimpan dipinggir sungai ataupun dipangkal pohon yang jauh dari arus yang deras yang dapat membawa sarang tersebut. Masa bertelur Rana sp. berada pada bulan Mei sampai Juli (biasanya pada saat bulan mati), menjelang hujan.
2. Faktor Ruang Hidup
Rana sp. sangat sensitive terhadap perubahan disekitarnya apalagi saat ini pembangunan sedang marak dimana-mana. Hal ini akan menyebabkan terganggunya kehidupan Rana sp. tersebut. Dengan perubahan lingkungan hidup tersebut akan membuat Rana sp. menjadi terdesak karena tempat berkembang biaknya semakin sempit dan makanannya pun semakin sedikit pula.
Selain itu pencemaran lingkungan juga sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Rana sp. terutama pencemaran sumber perairan. Sebagaimana yang telah diketahui, sumber perairan dialam ,merupakan tempat dimana Rana sp. membuat sarang yang berupa gumpalan busa berwarna putih dan menyimpan telurnya yang siap untuk dibuahi. Dengan tercemarnya daerah perairan tersebut tentunya akan membuat populasi Rana sp. semakin menurun dam terancam punah. Selain mengancam telur mereka perairan yang tercemar juga akan membuat berudu yang merupakan hasil perkembangan telur sebelum dewasa juga akan tergamggu pertumbuhannya karena berudu Rana sp. sepanjang hidupnya akan selalu berada di dalam air karena mereka bernafas dengan menggunakan insang dan belum memiliki paru-paru seperti Rana sp. dewasa nantinya.
3. Faktor Perubahan/Pergeseran Musim
            Belakangan ini dunia dilanda kekhawatiran akan suatu isu yang bernama climate change atau perubahan musim. Dalam keadaan tersebut musim yang ada di dunia akan kacau sehingga tidak sesuai dengan urutan musim yang terjadi sebelumnya, dengan kata lain perubahan musim tidak akan dapat diprediksi lagi. Keadaan yang demikian tidak hanya berpengaruh terhadap kehidupan manusia namun juga berdampak bagi seluruh makhluk hidup termasuk Rana sp. Dengan adanya perubahan musim ini akan berpengaruh pada proses berelur dari Rana sp. karena Rana sp. baru akan bertelur katika memasuki musim penghujan. Namun dangan tidak menentunya musim akan membuat siklus bertelunya berubah. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap jumlah populasi Rana sp. nantinya karena proses bertelurnya terganggu sehingga secara otomatis proses regenerasinya akan terhambat juga.
4. Faktor Predator
            Predator adalah ancaman alami dari Rana sp. Predator dan mangsa adaalah komponen yang tidak dapat dipisahkan karena keduanya berperan penting dalam menjaga keseimbangan dalam sebuah ekosistem. Apabila jumlah predator dan mangsanya tidak seimbang (lebih banyak salah satunya) akan membuat keseimbangan didalam ekosistem tersebut menjadi terganggu. Keadaan tersebut terjadi pada Rana sp. belakangan ini, karena selain predator alami yang berupa reptile seperi ular Rana sp. juga harus berhadapan dengan jenis predator lain yaitu manusia. Sudah lama diketahui Rana sp. merupakan salah satu komoditas yang dimanfaatkan manusia untuk keperluan pakan peliharaan atau ternak bahkan untuk keperluan makan. Banyaknnya predator yang memangsa Rana sp. ini akan mengancam keberadaanya di alam.
Tingkat pertumbuhan berudu Rana sp. perlu diketahui untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kehidupannya seperti faktor kepadatan, kompetisi inter dan intra spesifik untuk mendapatkan makanan, ruang hidup dan sumber kehidupan lainnya. Perbedaan durasi perkembangan larva/berudu ini juga di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperature, ketersedian makanan keadaan udara serta kepadatan. Konsekuensi dari keadaan ini adalah adanya perbedaan durasi dalam proses metamorphosis antara Rana sp. walaupun keduanya merupakan spesies yang sama.
Sebagian besar anggota anura termasuk Rana sp. ini bertelur dipinggir kolam maupun genangan air yang memilki banyak spesies alga dan plankton yang dapat membantu pertumbuhan berudu. Konsekuensinya jenis makanan yang dikonsumsi oleh berudu tergantung dari ketersediaan makanan dimana ia berada.  Sebagian besar berudu bersifat herbivore atau omnivore dan ada sebagian kecil bersifat kanibal atau karnivora.
Kecacatan pada amfibi sudah lama terjadi, tetapi jarang sekali dijelaskan dan sedikit sekali dokumentasi. Amerika Utara merupakan salah satu tempat yang ada laporan tentang kecacatan pada amfibi (Johnson et al. 2003). Sebanyak 38 jenis katak dan 19 jenis kodok ditemukan cacat di 44 negara bagian Amerika Serikat. Diperkirakan 60% dari populasi yang bermetamorfosis di kolam mengalami kecacatan (NARCAM 1999 dalam Meteyer 2000). Rana pipiens merupakan salah satu contoh yang mengalami kecacatan, kecacatan meningkat dari 0,4% pada tahun 1958-1963 menjadi 2,5% pada tahun 1996-1997 (Hoppe 2000 dalam Johnson et al. 2003). Beberapa hipotesis yang menjadi penyebab kecacatan amfibi antara lain hilang dan berubahnya fungsi habitat, pencemaran lingkungan, radiasi UV-B, kontaminasi kimia, terinfeksi penyakit dan perubahan iklim global (Cohen 2001, Beebee & Griffiths 2005). Hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan populasi amfibi. Radiansyah (2004) menemukan delapan klasifikasi kecacatan pada 6 jenis amfibi di Sungai Cilember, yang meliputi brachydactyly, ectrodactyly, polydactyly, ectromelia, ujung jari bengkak, daging tambahan, benjolan perut, dan kaki patah. Sedangkan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan terdapat 34 individu (4.89%) ketidaknormalan morfologis pada amfibi. Ketidaknormalan digolongkan sebagai parasit (52.94%), trauma (29.41%), ketidaknormalan perkembangan (11.76%) dan lainnya (5.88%). Ketidaknormalan tersebut mungkin disebabkan oleh parasit, predator, ketidaknormalan regenerasi, ketidaknormalan genetik atau polusi.
Amfibi memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia, yakni peranan ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi memiliki peranan penting dalam rantai makanan sebagai konsumen sekunder. Amfibi memakan serangga sehingga dapat membantu keseimbangan ekosistem terutama dalam 7 pengendalian populasi serangga. Selain itu, amfibi juga dapat berfungsi sebagai bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan (Stebbins & Cohen 1997). Peranan amfibi dari segi ekonomis dapat ditinjau dari pemanfaatan amfibi untuk kepentingan konsumsi. Selain untuk tujuan konsumsi, amfibi memiliki kegunaan yang lain yaitu sebagai binatang peliharaan, binatang percobaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen 1997).


\













KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah ini adalah :
1.      Rana sp. memerlukan lingkungan yang kondusif untuk dapat berkembang biak dengan optimal
2.      Ancaman yang mempengaruhi eksistensi Rana sp. dan amphibi lainnya adalah pencemaran lingkungan, penebangan hutan dan eksplorasi yang berlebihan.
3.      Rana sp. dan anggota anura lainnya dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan
4.      Rana sp. dan beberapa anura lainnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan dan bahan pakan hewan ternak lainnya.

















DAFTAR PUSTAKA
Duellman, W. E. and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw – Hill Book Company. New York
Eprilurahman, 2007. Frogs and Toads of Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. International Seminar Advances in Biological Science. Fakultas Bilogi UGM
Iskandar, D. T. and E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia 31 (3): 1-133.
Johnson PTJ, Lunde KB, Zelmer DA, Werner JK. 2003. Limb deformities as an emerging parasitic disease in amphibians: Evidence from Museum Specimens and Resurvey Data. Biological Conservation 17 : 1724-1737.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The
Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement.

Pough, F. H, et. al. 1998. Herpetology. Prentice-Hall,Inc. New Jersey. Pp. 37-131

Radiansyah S. 2004. Keanekaragaman spesies amfibi dan biologi populasi Limnonectes kuhlii di Sungai Cilember dalam Kawasan Wana Wisata Curug Cilember, Bogor-Jawa Barat. Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumber daya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zug, George R. 1993. Herpetology : an Introductory Biology of Ampibians and Reptiles. Academic Press. London, p : 357 – 358.